SEJARAH MUNCULNYA ISTILAH FETOR

SEJARAH MUNCULNYA ISTILAH FETOR

Oleh : Sonny Pellokila

Istilah “Fetor” muncul pertama kali di nusak Termanu sejak kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda di pulau Rote. Kata “Fetor” berasal dari kata “Feto” dari bahasa Rote. “Feto” artinya “perempuan”. Kata “Feto” juga mempunyai arti yang similiar dengan bahasa Dawan, Helong dan Tetun. Kata Feto dalam bahasa Rote kemudian dipakai untuk menunjukkan entititas sosial dari masyarakat adat Termanu bagi pemimpin Termanu yang memiliki karateristik dan sifat seperti “perempuan” atau “betina”. 

MUNCULNYA ISTILAH FETOR DI TERMANU

Istilah “Mane” dan “Mane Feto” baru muncul dalam kerajaan Termanu sejak kedua putra dari Tola Manu melakukan kompetisi uji berat badan untuk memperebutkan calon pewaris takhta dinasti kerajaan menggantikan Tola Manu sebagai pemimpin di Termanu. 

Seni Tola sebagai anak bungsu memiliki ukuran tubuh jauh lebih kecil dari Lusi Tola sebagai anak sulung. Seni Tola dengan kepintaran (malelak) dan kelicikannya (kekedi) dapat memenangkan kompetisi tersebut karena memiliki berat badan melebihi Lusi Tola setelah dilakukan penimbangan berat badan. Sejak saat itu, Seni Tola mendapat gelar : (1) Mane dan (2) menjadi pewaris takhta dinasti kerajaan menggantikan Tola Manu, sedangkan Lusi Tola mendapat gelar “Mane Feto”. Dalam penafsiran etimologis orang Termanu, nama Seni Tola disebut sebagai “Sengi” yang berarti “menang, menaklukkan, atau mengatasi”. Nama ini dikatakan menandakan kemenangan atas kakaknya (Fox 2009:100). 

Kedua gelar ini (Mane dan Mane Feto) menunjukkan entititas dalam status sosial dan bukan menunjukkan jabatan sebagai pemimpin di kerajaan Termanu. Dengan adanya perbedaan status sosial diatas, terdapat suatu konsukuensi adat bahwa antara Lusi Tola dan Seni Tola tidak dapat tinggal bersama dalam istana kerajaan di Kolilain, Termanu. Lusi Tola yang mendapat gelar Mane Feto harus tinggal di luar pagar istana kerajaan Termanu. Sejak saat itu, Lusi Tola memutuskan untuk membentuk garis keturunan tersendiri yang terpisah dari Masa Huk dengan nama “Kota Deak” (Fox 209:101). 

Istilah “Fetor” muncul pertama kali di nusak Termanu ketika putra dari Lusi Tola yang bernama Kiu Lusi membentuk aliansi dengan VOC pada tahun 1654 (Hagerdal 2012:223). Sejak saat itu, Kiu Lusi dikenal sebagai perwakilan VOC di Termanu. Karena Kiu Lusi mempunyai status sosial sebagai Mane Feto dari klan Kota Deak, orang Termanu menyebut “jabatan” Kiu Lusi dengan istilah “Fetor”. Dengan kewenangan yang diberikan oleh VOC, Fetor memilki kekuasaan dan kekuatan politik didalam sistim pemerintahan kerajaan Termanu. Jabatan Fetor yang diembani oleh Kiu Lusi hanya bertahan beberapa bulan sebab Kiu Lusi mati terbunuh pada tahun 1654, ketika menyerang Korbaffo yang berorientasi kepada Portugis (Hagerdal 2012:223). Kiu Lusi mempunyai dua (2) orang putra, yaitu Ndoki Kiuk (sulung) dan Sadu Kiuk (bungsu). Jabatan fetor selanjutnya dipegang oleh Sadu Kiuk.

Setelah manek Kila Seni (putra bungsu dari Seni Tola) memimpin di Termanu (1653-1673), takhta kerajaan diwariskan kepada putra sulungnya yang masih berusia muda yang bernama Pello Kila pada tahun 1674. Pada tahun 1679, manek muda Pello Kila disekolahkan oleh VOC untuk belajar Bahasa Melayu di Kupang. Surat pertama kali dari manek Pello Kila ke Batavia ditulis di Kupang dalam kapasitasnya sebagai “Regent” (penyelenggara pemerintahan). Surat ini ditulis dalam bahasa Melayu bersama Ama Susang (Regent Kupang), Ama Tomananu (Regent Sonbai Kecil) dan Amataram (Regent Amabi) pada 24 Oktober 1681.

Pada paruh kedua abad ke 17 di pulau Rote, penyelenggara pemerintahan dalam sebuah nusak atau kerajaan disebut dengan “Regent” (Bupati). Manek secara otomatis menjabat sebagai Regent, sedangkan Fetor dikenal sebagai mederegent/tweederegent atau wakil bupati (F. de Haan 1919:617-18). Fetor juga memilki kekuasaan dan kekuatan politik didalam sistim pemerintahan kerajaan di pulau Rote. Berbeda dengan di pulau Timor, kedudukan raja-raja di pulau Timor (Kupang, Sonbai kecil dan Amabi) sebagai simbol spritual dan ritual dalam hal adat dan budaya, raja tidak melakukan intervensi dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan dalam kerajaannya yang dikepalai oleh seorang “Regent”. 

Setelah VOC dinayatakan pailit di tahun 1799, pemerintahan Belanda mengambil alih penyelenggaran kekuasaan di masing-masing wilayah koloninya (Hindia Belanda). Pada era ini, sisitim pemerintahan di masing-masing kerajaan mulai berubah, dan istilah Regent telah ditiadakan. Raja atau manek dengan sendirinya menjadi penyelenggara urusan pemerintahan. Oleh karena itu, di beberapa tempat di wilayah Timor en onderhoorigheden (Timor dan wilayah taklukkannya) selain dipulau Rote, mulai dimunculkan jabatan Fetor untuk membantu tugas seorang raja dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan, seperti di pulau Timor, Sabu, dll.

Inilah etimologis istilah “Fetor”, dimana awalnya digunakan di nusak Termanu-pulau Rote, kemudian di seluruh pulau Rote dan akhirnya hampir diseluruh wilayah Timor en onderhoorigheden (Timor dan wilayah taklukkannya). 

Sumber :

1919, Dr. F. de Haan. Daghregister Gebouden int Casteel Batavia, 1681

1971, T. O. Beidelman. The Translation of Culture: Essays to E E Evans-Pritchard

1980, Marie J. Adams & James J. Fox. The Flow of Life: Essays on Eastern Indonesia

2009, James J. Fox. The Discourse and Practice of Precedence. Michael P. Vischer. Precedence: Social Differentiation in the Austronesian World. 

2012, Hans Hägerdal. Lords of the Land, Lords of the Sea: Conflict and Adaptation in Early Timor, 1600-1800.

Tags

Top Post Ad

Copyright © 2022 By Media Kota News.com | Powered and Design By Media Kota News.com