MANEK PELLO KILA ADALAH PELOPOR BAHASA MELAYU DI PULAU ROTE

MANEK PELLO KILA ADALAH PELOPOR BAHASA MELAYU DI PULAU ROTE

Oleh : Sonny Pellokila

Pertama kali Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda mengikat kontrak dengan para penguasa di pulau Rote pada 27 Juli 1662. Para penguasa dari masing-masing nusak di pulau Rote yang dimaksud adalah nusak Termanu, Dengka, Korbafo dan Bilba. VOC diwakili oleh opperhoofd Hugo Cuylenburgh sedangkan Termanu di wakili oleh manek Kiew, Dengka di wakili oleh manek Tulia, Korbafo di wakili oleh manek Doon dan Bilba yang baru lepas dari Bokai di wakili oleh Sall Marcareij (Heeres 1931:212-214). 

Dalam narasi Termanu, manek Kiew yang dimaksud oleh J.E. Heeres dalam Corpus Diplomaticum dapat dikenal sebagai Kila Seni. Kila Seni adalah adalah putra bungsu dari Seni Tola. Kila Seni mempunyai dua (2) orang putra, yaitu Pello Kila dan Sinlae Kila (Fox 2009:101). Namun dalam narasi Dengka, Korbafo dan Bilba, belum diketahui nama-nama lokal dari masing-masing penguasa Dengka, Korbafo dan Bilba (Tulia, Doon dan Sall Marcareij).

Seseorang yang bernama “Sengaji Dasi” (Berasal dari Lamakera-Solor) yang bertempat tinggal di Kupang, digunakan oleh VOC sebagai penerjemah bahasa Melayu ke dalam bahasa Rote dan Sabu dalam urusan perdagangan VOC dengan orang Rote dan Sabu, karena jaringan kontak pribadinya sangat luas sejak tahun 1655. Dasi dapat berbicara atas nama VOC, dan dia ikut serta dalam ekspedisi VOC ke Rote dan Sabu. Dasi juga diberi izin perdagangan resmi yang memungkinkan kapal-kapalnya sering mengunjungi Rote, Sawu, Bima dan Wetar dengan kata lain, wilayah yang cukup luas. Syarat yang diberlakukan adalah perdagangan tidak boleh merugikan kepentingan VOC (Hagerdaal 2012:237-238). 

VOC yang menjadikan Termanu sebagai sekutu terdepan di pulau Rote mengalami suatu kendala dalam urusan perdagangan di pulau Rote, pasca jasa “Dasi” tidak digunakan lagi, terutama dalam masalah bahasa. Disisi lain, pada tahun 1679, terjadi perselisihan antara Bilba dan Termanu. Sikap Lassy Retty sebagai manek (raja) Bilba selalu bertentangan dengan manek atau raja muda Pello Kila sebagai penguasa Termanu yang menunjukkan kepatuhannya kepada VOC. Opperhoofd Jacob van Wijckersloot datang ke Termanu untuk menyelidiki perselisihan ini. Wijckersloot menemukan bahwa Lassy Retty sebagai penguasa Bilba ingin memberontak terhadap VOC dan telah mengancam orang-orang Termanu serta terus memandang Termanu sebagai musuhnya tanpa ada alasan yang kuat. Wijckersloot memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Lassy Retty, namun sebelum pertempuran terjadi pada akhirnya Lassy Retty menyerah dan menyerahkan sejumlah budak kepada VOC, sedangkan raja muda Pello Kila di bawah ke benteng Concordia di Kupang pada Desember 1679 untuk belajar bahasa Melayu disana (Coolhaas 1971:338). 

Menurut J.J. Fox, manek (raja) Pello Kila dibawa ke benteng Concordia di Kupang untuk belajar bahasa Melayu dengan tujuan agar dapat menjadi penerjemah bahasa (juru bahasa) dan juru bicara VOC di pulau Rote (Fox 1977:136; 1979:102). Namun menurut P. C. Burnham dan R. F. Ellen, manek (raja) Pello Kila dibawa ke benteng Concordia di Kupang untuk belajar bahasa Melayu dengan tujuan agar dapat bertindak sebagai penasihat utama VOC di pulau itu (P. C. Burnham & R. F. Ellen 1979:35). 

Setelah menyelesaikan pendidikan bahasa Melayu di benteng Concordia Kupang, Pello Kila ditugaskan oleh opperhoofd VOC di benteng Concordia Kupang sebagai penerjemah bahasa Melayu kedalam bahasa Rote atau sebaliknya, baik dalam urusan perdagangan dan dalam urusan surat-menyurat (diplomatic letters) antara Gubernur Jenderal VOC di Batavia dengan para manek di pulau Rote atau sebaliknya. Surat pertama dari Pello Kila dalam kapasitasnya sebagai manek (raja) di Termanu dalam bahasa Melayu kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia tertanggal 10 Oktober 1681. Sejak saat itu, manek Pello Kila dikenal sebagai orang Rote pertama yang dapat berbicara dalam bahasa Melayu (Sumber : Diplomatic Letters-ANRI)

Khususnya dalam urusan surat menyurat (diplomatic letters) antara para manek di pulau Rote dengan Gubernur Jenderal VOC di Batavia, mekanisme yang dibangun pada waktu itu adalah sebagai berikut : Surat dari Gubernur Jenderal VOC dari Batavia yang ditujukan kepada manek di pulau Rote dalam Bahasa Belanda dikirim ke Kepala Benteng (Opperhoofd) di benteng Concordia Kupang, dan kemudian pegawai-pegawai di benteng Concordia Kupang menerjemahkan surat tersebut ke dalam Bahasa Melayu. Setelah surat-surat tersebut selesai diterjemahkan, di kirim ke Kota Leleuk, Termanu di pulau Rote sebagai sekutu terdepan VOC, kemudian surat-surat tersebut diterjemahkan oleh Pello Kila ke dalam bahasa Rote, dan didistribusikan kepada seluruh manek di Rote. Begitupun sebaliknya, dimana surat-surat dari para manek di pulau Rote dalam bahasa Rote yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia, diterjemahkan oleh Pello Kila kedalam bahasa Melayu, dan kemudian dikirim ke kepala benteng (Opperhoofd) di benteng Concordia Kupang. Di benteng Concordia Kupang, surat-surat tersebut diterjemahkan oleh pegawai-pegawai VOC ke dalam bahasa Belanda, dan selanjutnya dikirim ke Gubernur Jenderal VOC di Batavia. Inilah mekanisme, dimana bahasa Melayu mulai pertama kali dipopulerkan di kalangan para manek di pulau Rote. Sejak saat itu, manek Pello Kila dikenal sebagai orang pertama “pelopor” bahasa Melayu di Rote.

Demikianlah tugas manek Pelo Kila sebagai juru bahasa dan juru bicara VOC dan sekaligus bertindak sebagai penasihat VOC di pulau Rote sampai pada kematiannya pada tahun 1718 di Feapopi (P. C. Burnham & R. F. Ellen 1979:35). 

Sumber :

1931, J.E. Heeres. Corpus Diplomaticum, Neerlando-Indicum. Tweede Deel (1650-1657).

1971, Coolhaas W.Ph. Generale missiven van gouverneurs-generaal en raden aan heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, Deel IV (1675-1685)). The Hague: Nijhoff.

1977, Fox, James J. Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia.

1979, Fox. James J. The Clash of Economies: The Ecology and History of Island Relations in Eastern Indonesia. 

1979, Burnham, P.C. Ellen, R,F. Social and Ecological Systems. Association of Social Anthropologists of the Commonwealth, Social Science Research Council (Great Britain).

2009, James J. Fox. The Discourse and Practice of Precedence. Michael P. Vischer. Precedence: Social Differentiation in the Austronesian World. 

2012, Hans Hagerdaal. Lords of the land, Lords of the sea. Conflict and adaptation in early colonial Timor, 1600-1800.

Diplomatic Letters-Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), sejarah-nusantara.anri.go.id

Tags

Top Post Ad

Copyright © 2022 By Media Kota News.com | Powered and Design By Media Kota News.com