BERBAGAI MODEL TI’I LANGGA
Oleh : Sonny Pellokila
Kalau di Meksiko ada topi Sombrero maka di Indonesia pun, khususnya di pulau Rote (Provinsi Nusa Tenggara Timur) terkenal dengan topi Ti’i Langga. Ti’i Langga adalah topi tradisional orang Rote yang sering gunakan oleh pria-pria Rote sebagai bagian dari tradisi dalam berbagai acara seremony, baik dalam hal adat maupun dalam hal-hal lainnya seperti pelantikan-pelantikan pejabat eselon di pemerintah kabupaten Rote Ndao.
Secara etimologis, istilah Ti’i Langga berasal dari bahasa Rote (dialek Pa’da-Termanu) yang berarti "topi atau pelindung/penutup kepala". Istilah ini kemudian di gunakan untuk menyebut jenis topi yang dianyam dari daun lontar (Borassus flabillifer). Menurut James J. Fox bahwa kata untuk topi pria adalah Ti'i Langga di sebagian besar wilayah timur Rote, tetapi So'i Langga (atau So Langga) di Ba'a dan Thie (Fox 2014:137). Ada berbagai versi cerita dari orang Rote tentang Ti’i Langga, namun ada dua (2) versi yang hampir mirip, yaitu versi nusak Lole dan versi nusak Termanu.
Berikut ini versi cerita dari nusak Termanu tentang Ti’i Langga: Ti’i Langga pertama kali ditemukan oleh dua kakak beradik yang bernama Nggua Muskanan dan Kila Muskanan (putra-putra dari Muskanan Mak). Pada pagi hari pasca purnama penuh, Nggua Muskanan dan Kila Muskanan pergi ke tepian pantai di Sualai dekat pintu batu Sualai (Sualai adalah salah satu namat empat di nusak Termanu) untuk mencari ikan (makan meting). Kila Muskanan menangkap beberapa kura-kura besar dan Nggua Muskanan menangkap beberapa ikan pari besar lalu dibawa pulang kerumah. Dalam pertengahan perjalanan pulang, keduanya berhenti sejenak di bahwa sekumpulan atau serumpun pohon lontar untuk melindungi diri dari sengatan terik matahari. Setelah itu, Nggua dan Kila melihat daun lontar yang masih utuh dan sempurna dapat membantu melindungi kepala dari terik matahari, maka diambilah daun lontar lalu dibuatlah pelindung kepala. Namun karena dilihatnya kurang baik, maka Kila Muskanan mengeluarkan kura-kura hasil tangkapannya untuk membuat pelindung kepala dari cangkang kura-kura, begitupun Nggua Muskanan membuat pelindung kepala dari sayap ikan pari seperti yang dikenal dalam tuturan ha’ituadoonfofelifiinleo kea tana ma so’do don leohailida (ambil daun lontar dan anyam seperti cangkang kura-kura dan seperti sayap ikan pari). Kemudian meraka mengambil topi tersebut dan menaruhnya di kepala sebagai pelindung (Ti’i) kepala (Langga).
Ketika Nggua Muskanan dan Kila Muskanan beranjak dewasa, Nggua Muskanan memilih untuk memisahkan diri dari pohon induk (Masa Huk) dan mendirikan garis keturunan tersendiri yang disebut dengan “Ingu Nau”. Oleh karena itu, pada masa mereka berdua (Nggua Muskanan dan Kila Muskanan), keturunan dari Nggua Muskanan dapat dikenal dengan keturunan yang sering menggunakan topi dari anyaman daun lontar mirip seperti sayap ikan pari, dan keturunan dari Kila Muskanan dapat dikenal dengan keturunan yang sering menggunakan topi dari anyaman daun lontar mirip seperti cangkang kura-kura.
Pada abad 17, Ti’i Langga hanya memiliki dua model atau jenis, yaitu: jenis anyaman mirip sayap ikan pari dan jenis anyaman mirip cangkang kura-kura berdasarkan asal-usulnya, namun dalam perkembangannya pada abad 18 sampai pada paruh pertama abad 20, hampir setiap kerajaan atau nusak di pulau Rote memiliki bentuk Ti’i Langga yang berbeda-beda. Beberapa model atau jenis Ti’i Langga yang dikenal berdasarkan bentuk topi (pelindung/penutup kepala) dan kegunaannya, yaitu : (1) Ti’i Langga pisak, yaitu jenis topi dengan daun kasar yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari; (2) Ti’i Langga bebelak, yaitu jenis topi yang berbentuk rata pada bagian atas; (3) Ti’i Langga a’angguk, yaitu jenis topi dengan daun panjang yang menonjol; (4) Ti’i Langga bu’uhak, yaitu jenis topi yang berbentuk persegi; (5) Ti’i Langga do lutu, yaitu jenis topi yang berdaun halus; (6) Ti’i Langga do sela, yaitu jenis topi yang berdaun kasar; (7) Ti’i Langga bu’u koak, yaitu jenis topi dengan ujung belakangnya berbentuk bulu ayam; (8) Ti’i Langga musu, yaitu jenis topi dengan daun tegak yang hanya dipakai saat perang.
Sejak paruh kedua abad 20, bentuk-bentuk Ti’i Langga tidak lagi bervariasi seperti abad ke-18,19 dan paruh pertama abad 20. Pada paruh kedua abad 20 hingga saat ini, Ti’i Langga lebih banyak didominasi dengan Ti’i Langga yang menggunakan jambul (cula atau antena) sembilan tingkat dengan tinggi 40 cm sampai 60 cm dan pada setiap tingkat terdapat dua lekukan, total jumlah lekukan adalah 18 lekukan dengan beberapa variasinya. Lekukan-Lekukan tersebut melambangkan jumlah kerajaan atau nusak yang ada di pulau Rote. Lekukan diperkuat oleh sebuah lidi yang diikat pada jambul dan dibentang ke belakang secara lurus hingga bagian belakang badan Ti’i Langga. Jambul ke atas yang meruncing pada topi tersebut makin lama tidak akan tegak lurus, tetapi cenderung miring dan sulit untuk ditegakkan kembali.
Tidak semua orang Rote dapat membuat Ti’i Langga. Dibutuhkan sebuah keterampilan khusus, kesabaran dan waktu yang cukup banyak dalam pekerjaan pembuatan sebuah Ti’i Langga. Ti’i Langga terbuat dari daun lontar yang masih muda dengan tahap-tahap sebagai berikut: (1) Daun lontar yang masih muda (berwarna hijau) dipotong dari atas pohon dan jemur di terik matahari sampai kering atau sampai warnanya berubah menjadi kuning muda; (2) Sebelum daun-daun tersebut dibelah, dilakukan pembersihan terhadap kotoran-kotoran atau jamur yang melekat pada daun lontar tersebut; (3) Kemudian daun tersebut dibelah dalam ukuran yang sama menggunakan “kakadak” (mal yang terbuat dari lidi lontar); (4) Setelah itu dilakukan proses anyaman dimulai dari bagian badan Ti’i Langga; (5) Anyaman dilanjutkan dengan pembuatan pet depan Ti’i Langga; (6) Selanjutnya dilakukan pelipatan untuk membentuk lekukan pada bagian dalam Ti’i Langga; (7) Setelah itu, pada setiap sudut badan Ti’i Langga disisipkan daun-daun untuk membentuk pinggiran Ti’i Langga; (8) Daun-daun Ti’i Langga yang dibentuk kemudian disusun dengan dilingkari lidi lontar sebanyak tiga lingkaran; (9) Tahap terakhir adalah pembuatan jambul atau cula (biasa juga disebut dengan “antena”) dari Ti’i Langga. Jambul dapat dibuat dalam berbagai model. Biasanya jambul menggambarkan atau memberikan ciri khas sebuah nusak. Sebagai contoh, orang-orang dari nusak Ndao pada abad 19 sampai awal abad 20 sering menggunakan Ti’i Langga dengan Jambul panjang.
Inilah kisah singkat warisan budaya dan legenda tentang “Ti’i Langga” (Sombrero orang Rote) dari pulau Rote, wilayah paling terselatan dari Indonesia, dimana pada awalnya Ti’i Langga hanya digunakan sebagai topi pelindung/penutup kepala dari sengatan terik matahari, kemudian seiring berjalannya waktu diadopsi kedalam tradisi, adat dan budaya orang Rote sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sumber :
2014, James J. Fox. Explorations in Semantic Parallelism.