SEJARAH KAMPONG KISAR DI KUPANG
Oleh : Sonny Pellokila
Komunitas Kisar yang menempati Kupang, sebelumnya berdiam di Kotalama, pulau Kisar. Sepertiga dari mereka yang menempati Kotalama di pulau Kisar terlihat jelas merupakan keturunan Eropa dengan rambut pirang, mata biru, kulit dan kulit yang cerah, dan ciri-ciri dan tubuh Eropa yang khas (Elkington 1922: 34). Penduduk Kupang yang berasal dari metizen Kisar, sebelumnya berdiam di Kotalama, pulau Kisar. Mereka adalah turunan-turunan Eropa yang datang kesana pada abad ke-18 (Toto 1964: 24).
Sejarah lokal mengatakan bahwa keluarga kerajaan Kisar memperoleh nama Bakker yang terdengar sangat Belanda di suatu tempat di abad ke-17 dari seorang juru tulis yang salah mengeja nama asli mereka, yaitu Pakar. Cerita rakyat setempat menginformasikan bahwa raja Pakar meminta bantuan VOC melawan penjajah Portugis. Kepatuhan terhadap VOC pada tahun 1665 menghasilkan perombakan total domain berbahasa Meher di pulau itu, dan pembangunan Benteng Delftshaven. Mereka mengangkat Pakar sebagai raja dan memindahkan wilayah kekuasaannya yang sekarang disebut Wonreli, ke sekitar benteng. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1668, dewan VOC di Banda menempatkan sebuah garnisun kecil tentara Eropa di sana dan menampung keluarga mereka di rumah-rumah yang baru dibangun di dekat benteng yang kemudian dikenal sebagai Kotalama (Engelenhoven 2016:1-2).
Sebagian besar keluarga Mestizen di Kotalama adalah keturunan dari enam belas tentara dan keluarga mereka yang mengabdi pada detasemen VOC pada tahun 1700-an. Namun cerita lokal menyebut bahwa keluarga-keluarga tersebut hanya “sebelas keluarga”. Faktanya, saat ini terdapat “delapan keluarga” yang masih ada. Sementara semua keluarga yang masih ada ini, mengakui bahwa mereka berasal dari Belanda tetapi pada kenyataannya, ini hanya berlaku untuk keluarga Wouthuijzen yang merupakan keturunan dari kopral Belanda Abraham Wouthuijzen (Engelenhoven 2016:1-2).
Dalam bukunya yang berjudul Die Mestizen auf Kisar, Ernst Rodenwaldt mencatat bahwa dari delapan keluarga yang masih ada di Kotalama adalah : (1) Keluarga Caffin berasal dari keturunan sersan Anthonie Gaving (karena perubahan nomenklatur sehingga dikenal dengan Anthonie Caffin) berasal dari Jerman. (2) Keluarga Ruff berasal dari keturunan prajurit Johannes Ruff berasal dari Jerman, dimana kariernya yang meroket dari prajurit biasa menjadi posthouder di pulau Damar. (3) Keluarga Wouthuijzen berasal dari keturunan kopral garnisun VOC bernama Abraham Wouthuijzen berasal dari Belanda. (4) Keluarga Lander berasal dari keturunan Kopral Johann George Lander berasal dari Swiss. (5) Keluarga Peelman (sebenarnya Speelman) berasal dari keturunan Kopral Eduard Speelman berasal dari Inggris. (6) Keluarga Belmin-Belder berasal dari keturunan parjurit Guillaume Belmin berasal dari Perancis, kemudian terbagi menjadi dua keluarga, yaitu Belmin dan Belder. (7) Keluarga Joostensz berasal dari keturunan kopral Johann Willem Joostensz berasal dari Perancis yang ditempatkan di Banda dan menikah dengan wanita lokal disana, dan kemudian pindah ke Kisar. (8) Keluarga Lerrick berasal dari keturunan Kopral Hendrick Lerrick. Masih belum ada konsensus tentang asal-usulnya. Saran tersebar luas mencakup Jerman, Swiss, dan Friesland di Belanda. Semua setuju bahwa keluarga Lerrick adalah keluarga terbesar di Kisar. Mereka memiliki anggota keluarga di Moa, Sermata, Ambon, Kupang, dll. (Engelenhoven 2016:1-3).
Mereka telah tinggal berabad-abad di pulau Kisar dan mereka kawin dengan anak-anak pribumi Jotowawa atau Yotowawa, sambil mengambil bahasa dan adat istiadat orang Kisar sebagai bahasa dan adat istiadatnya sendiri, walaupun ras mereka sebagaian besar masih ras Eropa. Mereka sudah tidak mengenal sepatahpun bahasa awal mereka, terkecuali yang bersekolah di sekolah Belanda sebelum perang dunia II. Mereka mengganggap diri mereka sebagai orang Kisar. Hanya nama gens atau marga mereka (nomen gentilicium) tetap nama Eropa. Antara lain : Lerrick, Joostensz, Caffin, Lander, Belmin, Wouthuijzen, Bakker, Ruff, Peelman (sebenarnya speelman), Belder dan Welvaart. Pada dewasa ini, keluarga Lander dan Caffin hampir lenyap karena keturunan laki-lakinya sebagai pembawa marga sudah tidak ada lagi (Toto 1964: 25).
Kehidupan mereka sangat memprihatinkan, dimana secara fisik maupun mental sangat merosot. Semua tanda peradaban Eropa sudah hilang dan mereka telah jatuh dalam kekafiran dan juga kehilangan bahasa awal mereka. Namun mereka tetap mempertahankan pernikahan mereka dalam komunitas mereka sendiri dan mempertahankan nama keluarga mereka (Elkington 1922:33).
Upaya Baron Van Hoéwell untuk menyelamatkan keturunan Eropa yang terlupakan ini dari keadaan mereka yang lambat, akhirnya membuahkan bantuan dari Pemerintah Belanda. Kekristenan diperkenalkan kembali, pernikahan dirayakan sesuai dengan peraturan untuk orang Kristen asli dan pembukaan tempat tinggal baru disediakan bagi mereka yang ingin pindah ke tempat lain. Pada tahun 1912, pulau-pulau Barat Daya masuk kedalam wilayah Keresidenan Timor dan Dependensi (Timor en Onderhoorigheden) dengan nama Klein-Timor, dan Kupang sebagai Ibukota Keresidenan. Fatufeto dan Tode Kisar sebenarnya merupakan konstelasi pemukiman migran dan rumah dinas bagi pendatang Kisar yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di pemerintahan (Engelenhoven 2016:5).
Wijnand Nieuwenkamp bersama asisten residen Timor tiba di Kisar pada tanggal 30 Mei 1918 menggunakan kapal Canopus. Tujuan kedatangan mereka ke Kisar adalah untuk mengatur agar beberapa keluarga mestizen dapat dipindahkan ke Kupang, di mana anak-anak mereka bisa bersekolah dan diajarkan kembali bahasa Belanda (Elkington 1922:33).
Dua belas rumah mulai dibangun di kampong Tode, kupang (Timor) pada tahun 1918 untuk digunakan oleh setiap mestizen Kisar yang ingin melanjutkan ke sana. Pendidikan gratis untuk anak-anak mereka diberikan di sekolah Belanda di Kupang dan mereka didorong untuk bekerja di berbagai industri (Elkington 1922:33). Namun ada versi berbeda mengenai jumlah rumah yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu. Menurut Engelenhoven pada tahun 1918, pemerintah membangun sepuluh rumah di kampong Tode-Kupang untuk menampung keluarga Mestizen dari Kotalama. Mereka juga akan menerima sekolah Belanda untuk mendapatkan kembali identitas Belanda yang berangsur-angsur menghilang di pulau Kisar. Di mata Pemerintah Hindia Belanda, mestizen di pulau Kisar adalah hasil dari eksperimen yang tidak direncanakan untuk menanam dan memelihara budaya Belanda di luar tanah air. Program “Redutchification” yang dimulai pada tahun 1918 di Kupang jelas karena kesadaran bahwa 'eksperimen' di Kotalama telah gagal total (Engelenhoven 2016:5-6).
I. Toto mengatakan bahwa pada tahap awal, tepatnya pada tahun 1918, residen Timor telah memindahkan tujuh (7) kepala rumah tangga Metizen Kisar dari Kota Lama pulau Kisar ke Kupang (Toto 1964: 24). Namun Toto tidak memberikan gambaran tentang nama marga dari tujuh (7) kepala rumah tangga tersebut. Tempat tinggal ini kemudian oleh orang Kupang disebut dengan Kampong Kisar. Ini awalnya terbentuk kampong Kisar di Kupang. Orang-orang Kupang sering menyebut kampung tersebut dengan nama kampong Tode Kisar. Kemudian pada tahun berikutnya menyusul lima (5) kepala Keluarga Metizen Kisar yang dipindahkan ke Kupang. Menurut Ernst Rodenwaldt dalam bukunya yang berjudul Die Mestizen auf Kisar, Cornelis Caffin (lahir pada 6 Agustus 1850) diangkat menjadi kepala kampong dan Jan Joostensz (lahir pada 24 Juni 1885) diangkat menjadi wakil kepala kampong di kampong Tode Kisar, Kupang pada tahun 1920.
Usaha yang dilakukan oleh keluarga mestizen Kisar di Kupang meliputi menenun kain dengan kualitas yang cukup baik untuk sarung dan pakaian adat lainnya, pembuatan kursi, menjahit dan pertukangan. Mereka juga beternak kambing, menanam jagung, sayuran dan buah-buahan dan menangkap ikan. Kepala sekolah Belanda di Kupang ini sangat memuji pencapaian mental anak-anak mestizen Kisar di bawah asuhannya. Tidak ada yang biasa-biasa saja di antara mereka; mereka bereaksi terhadap pendidikan sangat baik. Dari catatan sekolah yang dihasilkan menunjukkan prestasi rata-rata yang tinggi di antara orang-orang pribumi di Kupang (Elkington 1922:33).
Kampong Tode Kisar di Kupang akhirnya berkembang cukup pesat. Menurut Elkington, komunitas Mestizen pada tahun 1921 di Kupang sudah mencapai 100 Jiwa. Walaupun sudah ada pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda terhadap status beberapa anggota keluarga dari mestizen Kotalama sama dengan orang Eropa yang tinggal di Tode Kisar-Kupang, namun mereka tidak lagi diidentifikasi sebagai mestizen Kisar, tetapi sebagai orang Kisar.
Berikut ini, adalah nama-nama keluarga orang-orang Kisar yang berada di Kupang, dimana status dan kedudukan mereka telah menjadi sama atau setara dengan orang-orang Eropa menurut pengakuan pemerintah Hindia Belanda dalam Staatsblad :
(1) Pieter Lander, Anica Carolina Lander, Suzana Margaritha Lander, Carlotha Sebastiana Lander, Thomas Hendrik George Lander dan Bertha Antoneta Lander ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1926 dalam Staatsblad No. 196 tahun 1926. (2) Johanna Bakker, Jan Joostenz, Roelof Joostenz, Anna Catharina Joostenz, Jesajas Joostenz, Willem Theodorius Welvaart, Doris Alexander Welvaart, dan Dorthea Elmina Janse Welvaart ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1927 dalam Staatsblad No. 25 tahun 1927. (3) Anna Caffin, Paulus Lerrick, Anatje Lerrick, Thomas Lerrick, Lodewijk Lerrick, Cornelis Pieter Lerrick, Carolinna Zusana Lerrick ditetapkan pada tanggal 30 Mei 1927 dalam Staatsblad No. 323 tahun 1927.
Dengan adanya pengakuan ini, hak, tuntutan dan kewajiban dari mereka, sepenuhnya disamakan dengan orang Eropa.
Sumber :
1922, J.S.C Elkington, M.D, D.P.H. The Meztizos of Kisar, Dutch East Indies. The Medical Journal of Australia
1926, Dutch East Indie. Staatsblad van Nederland Indie.
1927, Dutch East Indie. Staatsblad van Nederland Indie.
1927, Ernst Rodenwaldt. Die Mestizen auf Kisar. Vol. 1&2.
1964, I. Toto . Kupang di waktu malam. Mimbar Indonesia, No.1, Djanuari 1964-Tahun XVIII.
2016, A. Engelenhoven. The Dutch Enigma of Kisar Island: Buku Tembaga (Southwest Maluku, Indonesia).