MATTHIJS VAN DEN BROECK-PENDETA PROTESTAN PERTAMA DI AMBON, SOLOR DAN KUPANG
Oleh : Sonny Pellokila
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda merupakan sebuah persekutuan badan dagang, tetapi badan dagang ini sangat istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas serta hak-hak istimewa (Octroi). Misalnya VOC boleh memiliki tentara, memiliki mata uang, bernegosiasi dengan negara lain hingga menyatakan perang. Oleh karena itu, banyak pihak menyebut VOC sebagai negara di dalam negara. VOC memiliki 6 kota sebagai kamar dagang (Kamers), yaitu : Amsterdam; Middelburg (Zeeland); Enkhuizen; Delft; Hoorn; dan Rotterdam. Delegasi dari Kamers ini berkumpul sebagai Heeren XVII atau 17 Tuan. “Kamers” menyumbangkan delegasi ke dalam Heeren XVII sesuai dengan proporsi modal yang mereka investasikan. Oleh karena itu, masing-masing Kamers wajib berkontribusi di dalam penempatan pendeta untuk pemenuhan rohani pegawai-pegawai VOC dan pengembangan kekristenan di wilayah koloninya. Pada abad 17, bahasa Melayu digunakan oleh VOC sebagai bahasa perdagangan di seluruh kepulauan Hindia Belanda (Horton 2019:1).
Matthijs van den Broeck ditahbiskan menjadi pendeta pada 21 Desember 1609 oleh H. Faukaleus pada klasis Walcheren di Middelburg yang merupakan ibukota dari provinsi Zeeland (Leopold 1929:293; P. van Dam 1954: 5). Selama bertugas di Zeeland, Matthijs van den Broeck terkenal dengan seseorang yang memilki sikap sulit dipahami dan suka bertengkar. Oleh karena itu, pada November 1613 pendeta Matthijs van den Broeck digambarkan dalam resolusi G. G. & R. 1610/11 sebagai orang yang sangat sulit dipahami dan suka bertengkar (Grothe 1890:30). Inilah rekam jejak yang berwarna merah bagi diri Matthijs van den Broeck untuk pertama kali dalam kariernya sebagai pendeta sehingga hanya tinggal menunggu waktu dan kesempatan untuk dipindahkan dari klasis tersebut.
Casparus Conradi Wiltens ditahbiskan menjadi pendeta pada 6 Desember 1610 pada klasis Amsterdam (Horton 2019:11). Conradi Wiltens bersama dengan Matthijs van den Broeck dikirim oleh klasis mereka masing-masing ke Hindia Belanda dengan kapal Ter Veere. Dalam perjalanan, kapal menyinggahi beberapa pelabuhan sehingga mereka tiba di Banten pada tanggal 5 September 1611. Di Banten, Conradi Wiltens bersama dengan Matthijs van den Broeck diberi kesempatan untuk berlatih bahasa Melayu (Brilman 1938: 20; Horton 2019:11). Dari Banten, Matthijs van den Broeck di kirim ke Ambon dan Conradi Wiltens di kirim ke pulau Batjan (Bacan) pada tahun 1612 (Baron van 1947:16; Algra 1962:72). Catatan : Pulau Bacan adalah sebuah pulau yang terdapat di Kepulauan Maluku tepatnya di sebelah barat daya Pulau Halmahera (Horton 2019:11).
Frederik de Houtman yang pada waktu itu menjabat sebagai Gubernur Ambon (kepala atau komandan benteng Victoria). Namun karena belum ada pendeta yang ditempatkan di Ambon, de Houtman juga berperan dalam mempersiapkan teks-teks Melayu untuk di khotbahkan dan melatih guru-guru lokal. Matthijs van den Broeck tiba di Ambon pada 21 Maret 1612. Kedatangan Matthijs van den Broeck diharapkan dapat menggantikan peran Frederik de Houtman dalam hal mempersiapkan teks-teks Melayu dan melatih guru-guru lokal disana. Pieter Both sebagai Gubernur Jenderal VOC telah berada di Ambon sebelum kedatangan Matthijs van den Broeck. Pada 27 Maret 1612, Pieter Both berangkat dari Ambon ke Banda, Both meninggalkan para prajuritnya di benteng Victoria dan dengan tegas memerintahkan Matthijs van den Broeck untuk berkhotbah dalam bahasa Melayu, seperti yang telah dilakukan F. de Houtman yang dengan susah payah dan kerja keras telah menterjemahkan beberapa Mazmur dan khotbah ke dalam bahasa Melayu (Grothe 1890:20-21).
Di Ambon, rekam jejak berwarna merah bagi diri Matthijs van den Broeck untuk kedua kali dalam kariernya sebagai pendeta dapat dilihat dari surat Jasper Janssen (Jasper Janssen de Jonge) kepada Direktur VOC di Amsterdam pada tanggal 12 Juli 1612. Jasper Janssen menjabat sebagai Gubernur Ambon pada 12 Juli 1612 menggantikan Frederik de Houtman (Tiele 1877:258). Inti dari isi surat tersebut menggambarkan bahwa pendeta Matthijs van den Broeck menolak menggunakan karya de Houtman dalam bahasa Melayu untuk berkhotbah, karena dia tidak ingin menggunakan karya lain yang tidak dia pahami. Alasan berikut dari Matthijs van den Broeck sesuai penjelasan isi surat tersebut adalah bahwa di Ambon kita mengajar orang-orang dalam bahasa asing itu kuno dan bahkan berbau kepausan. Jadi jika ingin berkhotbah kepada orang-orang Ambon harus menggunakan bahasa mereka sendiri atau bahasa daerah setempat (Grothe 1890:20-21).
Hanya beberapa bulan bertugas di Ambon, Matthijs van den Broeck telah menciptakan pertentangan dirinya dengan pimpinan-pimpinan VOC. Menolak berkhotbah dalam bahasa Melayu, ini berarti tidak mentaati perintah dari Pieter Both sebagai Gubernur Jenderal VOC di Hindia Belanda. Menolak karya de Houtman dalam bahasa Melayu, ini berarti telah menolak perintah dari Gubernur Ambon. Dari kedua hal ini, membuat Jasper Janssen sebagai Gubernur Ambon yang baru menggantikan Frederik de Houtman, sempat berpikir untuk memulangkan Matthijs van den Broeck ke Belanda, namun Janssen takut apabila Van den Broeck dipulangkan ke Belanda, maka dia akan memberitahukan pekerjaan VOC di Hindia Belanda kepada rekan-rekannya sesama pendeta, dan dengan demikian mereka tidak akan berminat lagi untuk datang ke Hindia Belanda. Dari pertentangan ini, para pimpinan VOC menggambarkan bahwa Matthijs van den Broeck adalah seseorang yang menjengkelkan, merepotkan, dan keras kepala.
Ada beberapa alasan mengapa Matthijs van den Broeck dipindahkan dari Ambon ke Solor :
(1) Ada permintaan dari Adriaan van der Velde kepada Pieter Both pada tahun 1613 untuk mendatangkan seorang pendeta agar dapat melayani kebutuhan rohani dari pegawai-pegawai VOC di benteng Solor yang baru ditaklukan. (2) Ada propsek bagus untuk kekristenan di Solor dan sekitarnya. (3) Pertentangan Matthijs van den Broeck dengan beberapa pimpinan VOC. (4) Ketidaktaatan Matthijs van den Broeck kepada pimpinan VOC. (5) VOC takut apabila Van den Broeck dipulangkan ke Belanda, maka dia akan memberitahukan pekerjaan VOC di Hindia Belanda kepada rekan-rekannya sesama pendeta, dan dengan demikian mereka tidak akan berminat lagi untuk datang ke Hindia Belanda.
Pendeta Matthijs van den Broeck dan Pieter Wynandts (penghibur orang sakit) tiba di Solor pada 1 Januari 1614 (Barnes 1987:226). Namun jika kita memperhatikan surat yang dikirim oleh Pieter Both kepada Adriaan Van Velde sebagai Gubernur di Solor, sepertinya keputusan pemindahan Matthijs van den Broeck oleh Pieter Both tertuang dalam suratnya tertanggal 1 Januari 1614. Oleh karena itu, kedatangan Broeck dan Wynandts ke Solor diperkirakan diatas tanggal 1 Januari 1614. Salinan surat tersebut berbunyi demikian : “Meninjau kembali keputusan sebelumnya bahwa pendeta Matthijs van den Broeck dikirim ke Solor yang telah ditaklukkan, walaupun ada penilaian yang tidak menguntungkan tentang orang itu. Pieter Wynandts seorang penghibur orang sakit juga ditempatkan di sana. Kedua pelayan ini mungkin berguna, karena ada prospek bagus untuk kekristenan disana”. Surat ini ditulis pada 1 Januari 1614 (Grothe 1890:29).
Selama di Solor, Matthijs van den Broeck menolak untuk berbicara dengan penduduk asli dalam bahasa Melayu, menuduh bahwa berbicara dalam bahasa asing berbau Kepausan (Barnes 1987:226). Dengan cara seperti ini, Matthijs van den Broeck lebih berhubungan dengan penduduk diluar benteng untuk menguasai bahasa lokal atau bahasa daerah tanpa memperhatikan adanya ancaman keselamatan bagi dirinya. Dimana pada saat itu, ada banyak penduduk Solor yang saling bermusuhan diantara mereka. Sikap ini menimbulkan kesan yang tidak diinginkan oleh Adriaan van der Velde sebab Matthijs van den Broeck didatangkan dari Ambon untuk melayani kebutuhan rohani pegawai-pegawai VOC di benteng Henricus. Penginjilan kepada penduduk pribumi baru dapat dilakukan setelah situasi dan kondisi sudah benar-benar aman dan kondusif. Rekan-rekan Matthijs van den Broeck menilai dia tidak cocok untuk tetap tinggal di benteng Solor. Oleh karena itu, Adriaan van der Velde memutuskan untuk memindahkan Matthijs van den Broeck ke Coupan (Kupang) setelah dua bulan lebih bertugas di Solor. Pieter Wynandts meninggal dalam waktu dua tahun, setelah mencapai hasil yang sangat sedikit (Barnes 1987:226).
Tampaknya penggunaan bahasa Melayu adalah momok bagi Matthijs van den Broeck dalam pelayanannya. Di satu sisi, Matthijs van den Broeck lebih memprioritaskan bahasa lokal atau bahasa daerah sebagai media komunikasi untuk memperkenalkan injil. Di sisi lain, VOC lebih memprioritaskan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi dalam perdagangan. Pada waktu itu, dikenal suatu istilah bahwa “bendera dan agama mengikuti perdagangan”. Oleh karena itu, perdagangan merupakan hal yang paling prioritas dari pada bendera dan agama. Hal ini yang menyebabkan Matthijs van den Broeck tidak pernah sejalan dengan kepala atau komandan benteng dimana dia ditempatkan.
Ada beberapa alasan mengapa Matthijs van den Broeck dipindahkan dari Solor ke Coupan (Kupang) : (1) Kondisi Solor yang belum aman dan kondusif, dimana antara Lamakera, Lohayang, Adonara dan tempat lain disekitar pulau Solor saling bermusuhan. (2) Ada kesepakatan sebelumnya antara perwakilan atau utusan VOC dengan raja Coupan (Kupang) pada 1613, dimana raja Kupang mengizinkan mereka membangun benteng di sana dan bersedia menerima Kristen, seperti yang telah raja janjikan sebelumnya kepada Portugis. (3) Timor masih sepenuhnya kafir dari kekristenan, meskipun Portugis tinggal lama di sana. (4) Pemikiran Matthijs van den Broeck tidak pernah sejalan dengan Adriaan Van de Velde. (5) VOC takut apabila Van den Broeck dipulangkan ke Belanda, maka ia akan memberitahukan pekerjaan VOC di Hindia Belanda kepada rekan-rekannya sesama pendeta, dan dengan demikian mereka tidak akan berminat lagi untuk datang ke Hindia Belanda.
Berdasarkan surat dari Adriaan Van de Velde sebagai Gubernur Solor kepada Pieter Both, Matthijs van den Broeck tiba di Kupang dengan menggunakan kapal pemburu “de Halve Maen” pada April 1614. Isi surat tersebut berbunyi demikian : “Timor masih sepenuhnya kafir, meskipun Portugis tinggal lama di sana. Pendeta Matthijs van den Broeck telah dikirim ke sana, karena tidak banyak yang bisa dia lakukan di Solor di antara orang-orang Kristen Romawi yang bermusuhan. Pertanyaannya adalah apakah Mathhijs van den Broeck adalah orang yang tepat untuk itu. Namun, harus dicoba dengan raja Coupan (Kupang) yang telah memiliki sedikit pengetahuan tentang agama Kristen”. Solor, 1 Mei 1614 (Grothe 1890:38).
Tampaknya raja Kupang memiliki pengetahuan tentang kristen, walaupun sangat minim. Hal ini dibuktikan dengan adanya surat-surat pastoral dari pastor Katolik yang bermarkas di Fort Henricus sebelum VOC menguasai benteng tersebut pada 1613. Walaupun dia tidak bisa membaca isi surat tersebut, namun ketika pedagang-pedagang Portugis dengan kapal mereka berlabuh di pelabuhan Cupão (Kupang) beserta penerjemahnya, dia selalu menanyakan apa arti dari isi surat tersebut. Surat-surat ini selalu ditunjukan kepada utusan atau perwakilan VOC yang datang ke Coupan pada waktu itu. Dari pembelajaran seperti ini, dia sepintas memahami tentang pembaptisan.
Terdapat beberapa referensi mengenai nama raja Kupang pada waktu itu. Menurut J.J. Detaq yang biasa disapa dengan Aco Detaq, raja Kupang pada awal 17 adalah KoEn Lai Bissi (Detaq 1972:6). Menurut Hans Hagerdaal, raja Kupang yang menerima perwakilan atau utusan VOC pada 1613 adalah Ama Pono I. Pada tahun 1619, Ama Pono I dibunuh atas hasutan dari Portugis karena telah bersekutu dengan VOC (Hagerdaal 2012:94). Sedangkan menurut Adolf Bastian, raja Kupang pada waktu itu adalah Bässi Nissi I (Bastian 1884:10). Dalam tradisi lokal Helong, Bässi Nissi dapat dikenal sebagai Bissi Lissin.
Di Kupang, seperti yang digambarkan dalam surat dari Crijn van Raemburch, Opperkopman (kepala eksekutif) di Solor tertanggal 13 Agustus 1614, pendeta Matthijs van den Broeck telah berbicara dengan raja Coupan (Kupang) tentang adopsi kekristenan. Hal ini menunjukkan bahwa dia mempunyai niat baik semata dan kita harus tetap mendorongnya untuk melakukan hal baik sebanyak mungkin (Grothe 1890:38). Menurut S. Coolsma, banyak perubahan yang dicapai pada hari-hari awal kedatangan Matthijs van den Broeck di Kupang. Hal ini mungkin karena tidak ada pendeta yang pernah mengunjungi tempat ini (Coolsma 1901:41). Namun S. Coolsma tidak menggambarkan secara detail, perubahan-perubahan seperti apa yang terjadi.
Jika memperhatikan isi surat dari Crijn van Raemburch dan dari apa yang telah digambarkan S. Coolsma, sudah ada perubahan dalam diri Matthijs van den Broeck, dimana ada niat baik dalam dirinya dan membawa banyak perubahan pada hari-hari awal kedatangannya di Kupang. Diduga pendekatan komunikasi untuk mengenal dan memahami bahasa lokal setempat (bahasa Helong) telah dipraktekan namun wilayah kerja hanya sebatas lingkup pada sonaf raja di Kai Salun sebagai tempat pertemuan rakyat dengan rajanya. Apakah Matthijs van den Broeck berhasil membaptis raja Kupang?; Apakah ia berhasil membaptis orang-orang Helong pada waktu itu?; Bagaimana cara kerjanya?; Mengenai semuanya ini tidak terdapat informasi yang pasti.
Pada tahun 1615 Matthijs van den Broeck mengundurkan diri dari pelayanannya di Kupang dan kembali ke Belanda. Menurut Cooley, keputusan ini dibuat oleh Matthijs van den Broeck lantaran ia mengalami berbagai hal yang tidak menyenangkan selama masa tugasnya. Mengenai hal yang tidak menyenangkan itu, Cooley tidak memberikan informasi lebih lanjut (Cooley 1976, 30-31). Sejak kepergian Matthijs van den Broeck, VOC tidak pernah lagi mengutus seorang pendeta ataupun penghibur orang sakit untuk melayani di Kupang hingga tahun 1670. Demikianlah kisah Matthijs van den Broeck, pendeta Protestan pertama yang melayani di Ambon, Solor dan Kupang.
Sumber :
1877, Pieter Anton Tiele. De Europeërs in den maleischen archipel.
1884, Adolf Bastian. Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipel.
1890, J.A. Grothe. Archief Voor De Geschiedenis Der Oude Hollandsche Zending. De Molukken, 1603-1624. Volume 4-6.
1901, S. Coolsma. De zendingseeuw voor Neederlandsch Oost-Indië.
1919, H.T. Colenbrander. Jan Pietersz, Coen. Bescheiden Omtrent Zijn Bedrijf In Indië.
1923, Jakob Mooij. Geschiedenis der protestantsche kerk in Nederlandsch-Indië.
1929, H.P. Leopold. Haagsch Maandblad.
1938. Daniël Brilman De zending op de Sangi- en Talaud-eilanden
1947, Carel Wessel Theodorus Boetzelaer van Dubbeldam (Baron van). De Protestantsche kerk in Nederlandsch-Indië, haar ontwikkeling van 1620-1939.
1954, Pieter van Dam, Frederik Willem Stapel, Carel Wessel Theodorus Boetzelaer van Dubbeldam (Baron van). Beschryvinge van de Oostindische Compagnie, Volume 4.
1962, A. Algra. Dispereert niet twintig eeuwen historie van de Nederlanden, Volume 4.
1972, J.J. Detaq. Memperkenalkan Kota Kupang (Tidak dipublikasi).
1976, Frank F. Cooley. Benih yang Tumbuh XI: Gereja Masehi Injili di Timor. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja Se-Indoensia.
1987, R.H. Barnes. Avarice and Iniquity at the Solor Fort.
2012, Hans Hagerdaal. Lords of the land, Lords of the sea. Conflict and adaptation in early colonial Timor, 1600-1800.
Catatan :
(1) Matthijs van den Broeck (Colenbrander 1919:819) dalam berbagai referensi asing, sering ditulis dengan “Matthijs” = Mattheus, Matheus atau Matthias, Mathias dan “Broeck”= Broecke, Brouck atau Broek.
(2) Untuk mengukur hasil kerja Matthijs van den Broeck tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu pendek. Teori penggunaan bahasa daerah atau bahasa lokal dalam misi penginjilan sebenarnya sudah tepat, namun pada waktu itu VOC lebih memprioritaskan perdagangan daripada agama dan bendera.
(3) Ada 2 versi mengenai tanggal surat dari Crijn van Raemburch kepada Direktur VOC di Batavia, yaitu : 13 Agustus 1614 dan 3 Agustus 1614. Dari kedua hal diatas, penulis cenderung menggunakan tanggal 13 Agustus 1614 sebagai referensi dalam tulisan diatas karena hampir semua referensi asing dari abad 19 dan 20 menyatakan bahwa Crijn van Raemburch bersurat kepada Direktur VOC di Batavia pada 13 Agustus 1614.