KAMPUNG ADAT DAN MEGALITIK NAMATA DI SABU RAIJUA
Oleh : Sonny Pellokila
Kampung Namata merupakan salah satu destinasi pariwisata budaya yang berada Desa Raeloro, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ciri khas kampung ini, dipenuhi oleh batu-batu megalitik di mana masing-masing batu, punya nama masing-masing dan punya nilai cerita tersendiri dari unsur budaya, adat dan sejarah.
Asisten pendeta (Hulpprediker) J. F. Niks pernah mengunjungi kampung Namata pada tahun 1878, namun Niks tidak mencatat tentang asal-usul kampung Namata dari penduduk setempat. Cerita mengenai asal usul kampung Namata telah diceritakan oleh orang-orang Sabu kepada F. H. Van de Wetering sejak tahun 1919-1924 dari sudut pandang pribadi berdasarkan cerita turun temurun. Didalam cerita ini, berisi tentang opini, pandangan dan ekspresi pribadi tentang kampung Namata, dan kemudian oleh F. H. Van de Wetering dicatat dan dibukukan dalam sebuah artikel yang berjudul “De Savoeneezen”. Berikut ini, cerita tentang kampung Namata yang diringkas dari artikel yang berjudul “De Savoeneezen”:
Ada beberapa versi menurut cerita legenda tentang asal usul Madjapahi yang merupakan nenek moyang orang Sabu. Versi pertama, Madjapahi muncul dari laut ketika air bah besar terjadi. Dia membawa sejumlah air dan berjalan di sekitar pulau Sabu dan Raijua. Madjapahi mendistribusikan air ke setiap tempat di pulau itu, sehingga terakhir dia datang ke Mesara dengan hampir tidak ada air yang tersisa. Itulah sebabnya Mesara sangat kering hingga saat ini. Akhirnya Madjapahi memilih pulau Raijua sebagai tempat tinggalnya. Di Raijua, Madjapahi kawin dengan seorang dewi yang bernama Beni Kedo. Dari perkawinan itu lahirlah keturunan mereka di Raijua. Mereka menamakan diri mereka dengan "Niki Madja".
Versi kedua, menceritakan bahwa Madjapahi dan Beni Kedo turun dari surga dan mendarat di pulau Raijua. Saat itu langit dan bumi masih berdekatan, sehingga tidak sulit untuk turun. Kemudian ketika mereka berdua memiliki anak, ada dua anak laki-laki yang mengangkat langit dengan tongkat. Nama mereka adalah Hila dan Naga. Dari Hila dan Naga inilah, keturunan Madjapahi semakin berkembang di Raijua. Karena itulah penduduk di Raijua disebut dengan “Niki Madja”. Untuk mengingat nenek moyang mereka, mereka mempersembahkan babi hitam dan babi merah kepada Madjapahi sebagi nenek moyang mereka melalui ritual adat dalam kurun waktu tertentu.
Pada suatu waktu, salah satu generasi keturunan dari Madjapahi yang bernama Hawu Miha memisahkan diri dari Niki Madja dan pergi ke pulau seberang. Dia bersama saudara perempuannya yang bernama Piga Rai menyebrang ke pulau besar (pulau Sabu), namun mereka berdua menempuh jalur yang berbeda melalui laut. Karena diberkati dengan karunia dan mukjizat, akhirnya mereka berdua tiba di pulau besar dengan selamat. Tempat pertama kali mereka berdua bertemu kembali di pulau besar itu disebut Dinamata. (Saat ini, Dinamata dikenal dengan lanskap atau domain Seba). Serumpun batu menunjukan identitas tempat itu disebut dengan Namata.
Disinilah keturunan Hawu Miha dan Piga Rai beranak pinak. Oleh karena itu keturunan dari mereka menamakan diri mereka dengan “Do Hawu” sebagai tanda bahwa mereka imigran pertama yang datang ke pulau besar itu. Karena alasan inilah , orang-orang Sabu melakukan ritual pengorbanan pada batu-batu tersebut yang dipimpin oleh Deo Rai. Menurut asisten pendeta (Hulpprediker) J.F Niks, ketika dia berkunjung ke Sabu dan singgah di kampung Namata pada bulan Juli 1878, di tempat tersebut terdapat 15 batu sebagai tempat pemujaan dan 1 rumah pemali (Binni Deo).
Karena keturunan mereka semakin berkembang, akhirnya lanskap atau domain Dinamata atau Seba, terbagi menjadi sembilan genera atau suku (udu) yang menempati masing-masing tempat atau wilayah adat dalam lanskap Seba. Sembilan genera lanskap Seba adalah: Do Namata, Do Nahoro, Do Nataga, Do Nahupu, Do Naliru, Do Teriwu, Do Nalodowawa, Do Kekoro, Do Raepudi. Suku Do Nataga kemudian dipisah menjadi dua, karena jumlah anggotanya sudah terlalu banyak. Suku Do Nataga Luluweo menjadi raja dan suku Do Nataga Djohina menjadi fettor. Suku tertua Seba adalah Do Namata, oleh karena itu suku ini disebut sebagai suku nenek moyang.
Referensi :
1887, J.F. Niks. Berichten omtrent Savoe , door den Hulpprediker J. F. Niks. Mededeelingen Van Wege Het Nederlandsche Zendelinggenootschap.
1926. F. H. Van de Wetering. De Savoeneezen.