SELAM MERUPAKAN KOTA PALING TUA DI KUPANG
Oleh : Sonny Pellokila
Asal-usul nama “Selam” tentunya belum banyak diketahui oleh masyarakat Kota Kupang, apalagi “Selam” merupakan kota paling tua di Kupang. Sejak VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) mulai memindahkan pusat kedudukannya dari Fort Henricus di Lohayong-Solor ke Fort Concordia di Kupang pada tahun 1657 oleh opperhoofd Hendrick ter Horst, wajah kupang seiring waktu mulai perlahan-lahan berubah. Perubahan pembangunan awalnya hanya dimulai dari sekitar Fort Concordia hingga bantaran muara sungai dendeng, kemudian beralih ke kampung Cina. Sepanjang masa koloni Belanda, wilayah disekitar fort Concordia hingga menuju bantaran sungai dendeng dikenal dengan nama “de Kokok Koepang”.
DE KOKOK KOEPANG MERUPAKAN TITIK NOL KILOMETER KUPANG KOTA LAMA (KUPANG OLD TOWN)
Dalam rangka penetapan batas-batas kota Kupang, pemerintah Hindia Belanda menetapkan de Kokok Koepang sebagai titik nol kilometer. Dasar penetapan titik nol kilometer ini, karena de Kokok Koepang merupakan kota yang paling tua di Kupang. Pada tanggal 15 April 1886 dalam Lembaran Negara no. 171 tahun 1886, Residen Greeve menetapkan batas batas kota Kupang yang disebut "Vierkante paal gebied". Adapun batas-batas kota Kupang sebelah Barat ke arah Tenau sampai Kampung Nun Hila. ke sebelah Timur ke arah Pasir Panjang batas sampai di dekat Kantor Sinode GMIT. Kejurusan Air Mata sampai di Jembatan Gantung di Mantasi dan ke jurusan Kuanino batasnya dekat Rumah Sakit sekarang. Pada tiap-tiap tanda batas terdapat tugu (paal), dan didirikan sebuah gardu jaga yang harus dijaga oleh penduduk secara bergilir. (Leirissa dkk 1983:28).
Batas-batas Kupang menurut Staatblaad 1886 No.171 adalah Km Nol (0) ditarik hingga 1,5 Km ke timur ke Pasir Panjang, ke barat ke Namosain dan ke selatan ke Kuanino. Pusat kota ditetapkan dengan radius 1,5 Km dari kilometer 0, daerah yang tersisa adalah pinggiran. Area pusat kota hanya 1,5 hingga 2 km2. Penentuan batas kota dibuat untuk memiliki batas dan zona yang jelas untuk memisahkan antara pusat kota dan luar kota (Saudale dkk 2019:1147).Pada tahun 1945, pada lokasi titik nol tersebut telah dibangun monument Hak Asasi Manusia atau Monumen Pancasila oleh Max Rihi (Pejuang kemerdekaan asal Sabu-NTT).
ASAL-USUL NAMA SELAM
Banyak orang berpendapat bahwa asal-usul nama “Selam” berawal dari suatu tradisi dimana pemuda-pemuda pada akhir abad 19 dan awal abad 20 gemar berebut uang koin pemberian para awak kapal Belanda. Karena diberi dengan cara dilempar ke air, tentu saja untuk mendapatkannya harus dengan menyelam. Dan ternyata para pemuda di sekitar lokasi sangat lihai menyelam. Saat seorang awak kapal melempar koin bernilai tertentu, para pemuda segera menyerbu masuk ke dalam air. Kegiatan selam menyelam dan kelihaian para penyelamnya diabadikan menjadi nama tempat tersebut, yaitu “Selam”.
Memang benar bahwa sekitar akhir abad 19 dan awal abad 20 terdapat suatu tradisi menyelam untuk mendapatkan uang koin. Namun tidak benar jika nama “Selam” diadopsi dari tradisi menyelam oleh para pemuda setempat. Kata “Selam “ sebenarnya berasal dari nama seorang pedagang keturunan India yang sebelumnya tinggal di British-India bernama “Ishag Selam Rafigi” (Farram 2003 :172).
Sekitar awal abad 20, “Selam” memiliki bisnis di bidang perdagangan dan jasa. Dia punya losmen atau wisma yang bernama “Wisma Selam”. Wisma ini cukup terkenal dan sering dikunjungi orang asing ketika mengunjungi Kupang, ada juga toko yang terletak di pinggir Sungai Dendeng yang bernama “Toko Selam”. Toko ini dikenal memasok kebutuhan pokok bagi masyarakat kota dan cukup terkenal. Sampai sekarang nama “Selam” masih digunakan untuk menggambarkan daerah kecil di dekat Sungai Dendeng di mana wisma dan toko berada (Saudale dkk 2019:1148).
“Ishag Selam Rafigi adalah seseorang yang sangat di hormati oleh Belanda dan Australia serta penduduk yang bertempat tinggal disekitar de Kokok Koepang, kampong Cina, kampong Fatufeto, kampong Airmata, kampong Fontein dan kampong Bonipoi. Perusahaannya bertindak sebagai agen untuk perusahaan mutiara Australia dan sangat membantu Kapten C. Haultain ketika ia memasuki Kupang membutuhkan perbaikan untuk kapal patroli Australia Larrakia, tetapi tanpa dana untuk membayarnya.
Kapten East, menyiratkan bahwa pada bulan Januari 1942, ada beberapa orang Jepang yang tinggal di Kupang. Salah satu sumber informan yang berasal dari Kupang mengklaim bahwa mata-mata Jepang yang menyamar sebagai penjual obat-obatan Cina memiliki toko sendiri di Kupang sejak 1932 dan sejumlah lainnya telah bekerja sebagai pedagang pakaian keliling. Seorang Jepang bernama Jostomisang dikatakan sering berada di “Toko Selam” sebelum perang. Dia menyamar sebagai pedagang keliling dan terkenal di daerah di mana Jepang melakukan pendaratan pertama dari invasi mereka. “Ishag Selam Rafigi” bersama istrinya (Nora Rafigi) dituduh sebagai mata-mata (spionase) Jepang (Farram 2003:172).
Pada 20 Februari 1942 Jepang dipimpin oleh Jenderal Hayakawa memasuki Kupang, ketika Kupang pada waktu itu dikendalikan oleh Kaigun atau Angkatan Laut Jepang yang berbasis di Makassar (Luitnan, 2012). Pada tahun 1943 ketika perang berkecamuk antara Jepang vs Australia dan Belanda di Kupang, “Selam” melarikan diri ke Surabaya dengan menggunakan perahu Bugis dari Oesapa. "Ishag Selam Rafigi" meninggal dunia di Surabaya pada tahun 1951.
Setelah era kemerdekaan, ada beberapa nama tempat yang dinamai sesuai dengan tokoh-tokoh yang memiliki peran penting dan hingga kini tertanam dalam ingatan orang. Untuk mengenangnya, nama “Selam “ diabadikan sebagai nama wilayah dilokasi sekitar tempat tinggalnya yang sebelumnya pada era penjajahan Belanda bernama “de Kokok Koepang”. Selam atau de Kokok Koepang merupakan kota yang paling tua di kota Kupang.
Sumber :
1983, Drs. R.Z. Leirissa, Dr. Kuntowidjojo dan Drs. M. Soenjata Kartadarmadja. Sejarah sosial di daerah Nusa Tenggara Timur.
1993, M.M KoEhuan. Suatu studi tentang bangsa Belanda di NTT (1613-1942), Universitas Nusa Cendana, Kupang.
1995, P. Henning. Doomed battalion: Mateship and leadership in war and captivity. The Australian 2/40 Battalion 1940-45, Allen and Unwin, St. Leonards.
2003, Steven Farram. From ‘Timor Koepang’ to ‘Timor NTT’; The political history of West Timor, 1901-1967. PhD thesis, Northern Territory University, Australia.
2012, I.A Luitnan, Koepang Tempo Doeloe, Kupang.
2019, Prilly Esterina D. Saudale, Dr. Wara Indira Rukmi, ST, MT dan Antariksa, M.Eng, Ph.D. The Influence of Power Towards Spatial Change in the History of Kupang Old Town Development.