ASAL USUL NAMA BONIPOI KOTA KUPANG

 ASAL USUL NAMA BONIPOI KOTA KUPANG

Oleh : Sonny Pellokila

Pada era VOC dan Pemerintah Hindia Belanda, Bonipoi dikenal dengan nama Bonik atau Boniek. Nama Bonik atau Boniek berasal dari nama suatu mata air yang bernama "Boni". Misionaris Gerlof Heijmering dalam artikelnya berjudul Geschiedenis van Het Eiland Timor yang telah dipublikasi dalam buku Tijdschrift voor Neerlands Indie dan diterbitkan pada tahun 1847, mengatakan bahwa wilayah Naime dan Boniek terletak di sebelah Timur sungai Kupang yang semula menjadi milik suku Helong diberikan oleh regent Koepang kepada raja dan fettor Oematan untuk ditempati karena mereka bermaksud ingin pindah ke pulau Semau (Heijmering 1847:38-39). 

Raja Oematan yang berasal dari Mollo ini bernama “Saubaki” (Heijmering 1847:37). Dalam beberapa dokumen lain, raja Oematan bernama “Saubaki” dikenal juga dengan nama To Oematan. Namun karena lehernya panjang, dia juga disebut dengan “Toemananoe” (Heijmering 1847:37) atau To Amnanu. 

Nama Bonipoi sebenarnya adalah sebuah nama yang di abadikan oleh orang-orang Timor setempat bagi sebuah “muara” yang bersumber dari mata air yang bernama “Boni”. Lokasi mata air dengan debit air kecil ini terletak di dekat kantor residen Timor en Onderhoorigheden atau lebih spesifik untuk saat ini terletak di seberang kantor Pos Fontein atau di belakang kantor Polisi satlantas Kota Kupang. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, tempat disekitar lokasi mata air ini hingga muaranya disebut dengan "Bonik". Setelah pasca penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Hindia Belanda ke Pemerintah Indonesia pada tahun 1949, selanjutnya kantor residen yang dimaksud dijadikan kantor Bupati Kupang, namun kantor tersebut musnah di makan api pada bulan Mei tahun 1964. 

Mata air Boni adalah tempat mandi raja To Oematan atau To Amnanu yang menempati sonaf Naime atau dalam bahasa dawan ditulis dengan “Naidja(n) Me” atau “Nai Me” (Lokasi sonaf Naime saat ini merupakan rumah jabatan wakil Gubernur Provinsi NTT). Sesudah mandi, To Oematan sering menjemur selimutnya di puncak perbukitan Boni (tepatnya saat ini dikenal dengan SD GMIT Bonipoi), sekaligus menjadi tempat peristirahatan sementara setelah mandi. Di tempat peristirahatan ini sering dilaksanakan pertemuan dengan pangeran-pangeran Timor lainnya dengan To Oematan, dimana dari hasil pertemuan ini terdapat beberapa keputusan yang bersejarah. Akhirnya nama tempat peristirahatan ini disebut dengan “Boin Beti” dalam bahasa dawan yang artinya “Gantungan Selimut” (Toto 1964:24).

Mata air Boni bermuara dibelakang rumah Deos Tionghoa (Balai atau tempat pertemuan orang-orang Tionghoa pada waktu itu) atau lebih tepat di depan kantor PELNI dimana saat ini lokasi muara mata air Boni sudah tertutup jalan umum (Jl. Siliwangi) sehingga bekas muara tersebut tidak kelihatan lagi. Di zaman VOC dan Hindia Belanda di lokasi muara tersebut, dibuat sebuah pancuran mandi bersumber dari mata air Boni yang indah dan bagus sehingga banyak dikunjungi oleh orang-orang. Pada malam hari, suara gemuruh air pada muara mata air Boni dan pancuran mandi tersebut sangat terdengar jelas sekali dan sesekali bernada (Toto 1964:24).

Nama tempat lokasi pancuran mandi itu, kemudian dikenal dengan nama “pancuran”, dan pada zaman Pemerintah Hindia Belanda dibuat jalan yang melewati lokasi tersebut, dan pada akhirnya, jalan tersebut diberi nama “Pantjoeranstraat” (Jalan Pancuran). Pantjoeranstraat (Jalan Pancuran) kini dikenal dengan nama Jalan Siliwangi. 

Muara mata air Boni dengan suara gemuruh airnya pada malam hari dalam bahasa dawan disebut dengan “Boni Poin” atau menurut ucapan penduduk setempat disebut dengan "Bonipoi" yang artinya “Suaranya Boni” (Toto 1964:24). Jadi Bonipoi sebenarnya menggambarkan tentang lokasi “muara mata air Boni” yang terletak di jalan Siliwangi, namun sayangnya saat ini lokasi tersebut tidak kelihatan lagi. Berbeda pada era pemerintahan Belanda, dimana nama Bonik bersumber dari mata air Boni sedangkan pada era pasca kemerdekaan Indonesia, nama Bonipoi bersumber dari muara mata air Boni.

Nama Bonipoi pertama kali diabadikan pada sebuah nama tangga yang dibangun pada zaman Belanda di wilayah Fontein dengan nama Trapweg Bonipoi atau Tangga Bonipoi (saat ini dikenal dengan tangga 40 Fontein). Selanjutnya pasca era kemerdekaan oleh pemerintah setempat menggunakan nama Bonipoi sebagai nama wilayah menggantikan nama Bonik pada era Pemerintah Hindia Belanda. 

Keterangan :

Foto atau gambar diatas menggambarkan Pantjoeranstraat (Jalan Pancuran) yang saat ini dikenal dengan Jl. Siliwangi. Sumber gambar : KITLV.

Sumber : 

1847, G. Heijmering. Geschiedenis van Het Eiland Timor. Tijdschrift voorNeerlands Indie. 

1964, I. Toto . Kupang di waktu malam. Mimbar Indonesia, No.1, Djanuari 1964-Tahun XVIII.

Tags

Top Post Ad

Copyright © 2022 By Media Kota News.com | Powered and Design By Media Kota News.com