JAKARTA, Media Kota News.Com - Dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menempati peringkat satu dengan angka kasus stunting (kekerdilan) tertinggi di tanah air.
Hal ini disampaikan Plt Direktur Bina Penggerakan Lini Lapangan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), I Made Yudhistira Dwipayama saat konferensi virtual, Selasa (22/3/2021).
Ia mengatakan, hasil survei status gizi Indonesia (SSGI) 2021 menemukan stunting di NTT 37,8 persen.
"Setelah itu dilanjutkan Sulawesi Barat (Sulbar) 33,8 persen, kemudian Aceh 33,2 persen," tutur Made seperti dikutip Media Kota News. Com dari Republika.co.id, Rabu (23/03/2022)
Ia mengaku heran dengan temuan angka kekerdilan di Aceh yang masih tinggi. Padahal, kekayaan sumber daya alam (SDA) di Aceh luar biasa. Namun, kata Yudhistira, ini tidak menjamin membuat angka stunting bisa ditekan.
Selanjutnya, provinsi lain yang prevalensi stuntingnya tinggi yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB) 31,4 persen, Sulawesi Tenggara (Sultra) 30,2 persen, Kalimantan Selatan (Kalsel) 30 persen, hingga Kalimantan Barat (Kalbar) 29,8 persen. Made juga mengungkap Provinsi dengan angka stunting terkecil di antara Provinsi lain yakni Bali yaitu 10,9 persen, kemudian di atasnya adalah Jakarta 16,8 persen.
Menurutnya, prevalensi stunting nasional mengalami penurunan. Ia mengeklaim angka prevalensi stunting berdasarkan survei sensus gizi balita 2019 yaitu 27,7 persen. Kemudian survei status gizi Indonesia (SSGI) 2021 mengungkap angka prevalensi stunting 24,4 persen.
Terkait faktor stunting, ia menyebutkan dibedakan menjadi pendekatan spesifik dan sensitif. Pendekatan sensitif yaitu terkait dengan bicara soal gizi dan kesehatan. Kemudian, pendekatan spesifik terkait dengan faktor-faktor di lingkungan.
"Tetapi penyebab utama stunting adalah pola asuh. Sebenarnya belum banyak orang tua atau keluarga memahami tentang kesehatan gizi, makanan sehat yang tak harus mahal hingga perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)," katanya.
Artinya, yang jadi faktor krusial adalah kesadaran masyarakat. Made menuturkan, riset kesehatan dasar (riskesdas) Kementerian Kesehatan menyatakan dua dari tiga anak usia nol sampai 24 bulan tak menerima makanan pendamping Air Susu Ibu (MPASI). Kemudian, dia melanjutkan, 60 persen anak usia 0 sampai 6 bulan ternyata tidak mendapatkan ASI eksklusif.
"Itu kan terkait pola pengasuhan (orang tua) meskipun secara geografis ada di wilayah yang sangat makmur dan melimpah SDA-nya," ujarnya.(*/rol/MKN)